Sebuah Cerita: Tidak Ada Judul

1

Perkenalkan namaku Satria Hirawan. Kamu boleh memanggilku satria atau wawan. Tapi lebih sering dipanggil wawan. Umur 22 tahun. Sekarang sedang mengenyam pendidikan di salah satu universitas di Aceh. Tepatnya di Jurusan Ilmu Komunikasi. Kini sebagai mahasiswa akhir, aku sedang bergelut dengan skripsi. Aih, pusing nian kepalaku.

Aku adalah anak pertama sekaligus anak terakhir. Nama ayahku Heri Samudra, seorang perwira di kepolisian yang kini sedang bertugas di Jawa. Sedangkan ibu bernama Laila, dalam kesehariannya membuka kedai kelontong di Samalanga dan mereka sudah tidak lagi bersama. Ah, sudahlah. Aku tak mau memperpanjang lagi.

Sekarang, di meja kamar berkawan secangkir kopi hitam ini. Aku ingin sedikit berbagi cerita tentang asmara yang pernah merajamku saat masih di bangku SMP hingga SMA. Tentu semua nama yang kupakai adalah samaran, serta jalan ceritanya di bagian inti saja.

Baiklah kawan. Kisah ini bermula ketika aku berada di bangku kelas 1 SMP. Tahun 2008. Waktu itu, aku tak ubahnya seorang murid lelaki nan lugu, bertubuh cungkring yang kalau ditiup bangsawan angin langsung rapuh.

Di kelas, aku seorang murid yang tak pandai pelajaran matematika. Sehingga angka serupa bebek berenang, kursi terbalik, dan telur ayam tersenyum berseri-seri menghiasi buku tulis milikku. Kata seorang teman, mungkin karena waktu kecil aku sering minum air tajin. Tidak kawan, aku bercanda.

Aku pernah diperintahkan oleh Sang Ibunda Guru untuk mengerjakan soal matematika di papan tulis. Namun aku lebih memilih mematung di meja belakang macam net pimpong, sebab memang tak pandai. Mahir naik sepeda saja aku telat. Apa hubungannya ? Betapa soal-soal itu membuat raut wajahku bak orang kena penyakit tipes. Adapun Sang Ibunda tiada jemu berkomat-kamit, yang kuanggap sebagai angin lalu. Nun di luar jendela sana, sekonyong-konyong seorang anak perempuan mengintip-intip. Kuperhatikan ia tersenyum indah nan merekah.“Siapakah dia ?”. tanyaku dalam hati.

***

Jam istirahat tiba. Aku memutuskan mengurung diri saja di kelas. Menghidupkan kembali hobiku yang telah lama pingsan, yakni menulis puisi. Maka kugenggam pena dan terurailah kata demi kata di selembaran kertas. Puisi itu berjudul: Rindu Hujan.

Wahai awan menangislah

Sungguh kumerindukan air matamu

Syahdu dirasa, membelai jiwa dan raga

Datanglah dan sambutlah diriku

***

Iringan ayunan kaki bergemuruh memasuki kelas saat suara lonceng berkumandang. Menandakan waktu istirahat habis. Pelajaran selanjutnya kesenian. Satu persatu para murid diperkenankan maju ke depan kelas menyanyikan lagu-lagu sesuka hatimu. Ada yang tidak serius, lupa lirik, suara macam radio usang, dan satu lagi bernyanyi macam orang berpuisi. Akhirnya tibalah giliranku. Aku menempelkan bau mulut di kedua telapak tangan terlebih dahulu. Kemudian mengelus-ngelus rambut. Itu semua kulakukan untuk mempertahankan ketampanan. Tampan menurut diri sendiri, menurut orang lain tidak.

Kumenyanyikan salah satu lagu pop yang sedang tranding saat itu. Tidak mudah, sungguh tidak mudah. Aku mafhum suaraku sedikit sumbang, tapi itu bukanlah perkara. Masalah terbesar itu adalah jika rasa gugup menghantui jiwa dan raga. Maka usailah sudah. Aku tersenyum berseri-seri. Iringan tepuk tangan riang bergempita.

***

Hari berganti hari, minggu berganti minggu. Aku tak menyangka terpilih menjadi salah satu anggota paduan suara di sekolah, untuk mengikuti lomba memperinganti HUT RI. Nyatanya suaraku sedikit sumbang, namun Bu Guru berkata lain. Maka latihan perdana dimulai di ruangan perpustakaan. Semua anggota mengerahkan suara terbaik. Begitu elok didengar.

Usai latihan. Aku berkesempatan berkenalan dengan kakak-kakak kelas. Kami bertukaran informasi. Namun entah mengapa, aku merasakan suasana hati yang berbeda. Apakah aku sedang dilanda cinta ? Oh, beginikah rasanya jatuh cinta pandangan pertama ?

Hatiku berbunga-bunga kepada salah satu anggota paduan suara. Betapa indah parasnya sehingga membuatku senewen. Namanya Mawar, kelas 2. Itu berarti dia kakak kelasku. Konon dari informasi yang beredar, Mawar sangat menyukaiku.

Seiring berjalannya waktu informasi itu ada benarnya juga. Saat latihan, diam-diam kumemperhatikannya. Ia menyadari, dan tersenyum berselimut malu menundukkan kepala. Di sinilah kumulai menaruh curiga bahwa Mawar menyukaiku. Kecurigaanku justru semakin benderang setelah membaca buku pedoman cinta milik salah seorang kawan. Jika engkau menatap wanita, dan dirinya tersenyum menundukkan kepala. Maka itu adalah sinyal untukmu.

Akan tetapi, batu penghalang terbesarku ialah gugup mengajaknya berbicara, apalagi sekedar menyapa. Hingga pada suatu hari, aku meminta bantuan kepada kakak sepupuku yang juga satu sekolah denganku. Namanya Rahmi, kelas 3. Aku menyuruhnya untuk bertemu Mawar dan meminta nomor hp-nya. Itu pun harus menyogoknya terlebih dahulu dengan tiga buah mangga.

Hasilnya berbuah manis. Pulang sekolah, aku diberikan lipatan kertas yang berisi nomor Mawar. Aih, betapa senangnya. Setiba di rumah, aku hanya tertuju kepada handphone buntutku. Lalu mengirimnya pesan.

Aku: “Ini Mawar ya ? Aku wawan. Salam kenal”. Beberapa selang kemudian handphone-ku berdering.

? : “Bukan, aku bukan Mawar. Tapi sahabatnya, Melati. Kamu wawan anak kelas 1.2 kan ? hhh salah alamat nih”. Betapa kagetnya diriku. Mawar malah memberikan nomor orang lain.

Aku: “Seriuskan kagak bohong ?”

Melati: “Kagaklah, ngapain pakai bohong ? Aku Melati loh. Oya, dari mana dapat nomorku ?”.

Aku: “Tadi sih, pas di sekolah, Aku nyuruh kakak sepupuku hampiri Mawar sambil minta nomornya, eh malah nomor dirimu dikasih. Aku kagak ngerti”.

Melati: “Oh ya ? jangan-jangan kamu naksir ya sama Mawar, ngaku aja deh. Bisa aku bantu kok J ”.

Aku: “Hhh kan pengen kenalan”.

Melati: “Ya udah deh, mau nitip salam nggak untuknya ? biar kusampaikan nanti”.

Aku: “Salam kenal aja deh untuknya”.

***

Kini timbul pertanyaan. Mengapa Mawar justru memberikan nomor Melati ? Apa yang sedang dipikirkannya ? Mungkin ada suatu alasan yang mengharuskan dirinya mengambil pilihan itu.

Selang beberapa hari, aku berkesempatan menjadi seorang detektif macam di film-film barat. Kuingin mencari jawaban itu sendiri. Hasilnya mencuatkan. Apakah Melati sungguh ? Ya sudahlah.

Seperti yang sudah kawan tahu, Mawar dan Melati adalah sepasang sahabat. Mawar satu leting denganku. Ia juga tergabung dalam tim paduan suara. Kemudian tentang perlombaan suara emas, dewi fortuna belum berada dipihak kami.

 

2

Namanya Susi. Dia perempuan berikutnya yang pernah kusukai. Kebetulan ia satu kelas dengan Melati. Dia itu cantik, kulitnya indah merona, dan mempunyai kuku-kuku nan seksi. Namun ada satu hal kutakuti darinya yakni, matanya suka melotot seperti mata ikan.

Menurut beberapa informan, walau Susi gemar melotot, ia sosok pribadi yang menyenangkan. Hal itulah yang membuatku tiba-tiba menyukainya. Kemudian kuberinisiatif berburu nomor handphone-nya. Tanpa menunggu lama, aku berhasil mendapat nomornya.

Aku: “Selamat siang. Kenalin, aku wawan anak kelas 1.2. Boleh kenalan tak ?”.

Susi: “Boleh. Aku tau rupamu. Oya, dari mana dapat nomorku ?”

Aku: “Ada deh pokoknya, hehehe. Yang jelas aku mau kenalan. Lagi ngapain tuh ?”.

Susi: Aduh pakai rahasian segala. Takut aku makan ya ? hhh. Lagi duduk aja nih. Dirimu ?”.

Aku: Serem kamu ya. Pakai dimakan segala. Lagi duduk juga nih”.

Susi: “Okaylah, wan. Aku mau siap-siap ngaji dulu ya”.

Aku: “Baiklah”.

Kemudian tidak ada lagi suara deringan hp. Sekonyong-konyong aku terbawa pesona hayalan. Hanya wajahnya yang menyinari dikala kesunyian. Sungguh betapa hati ini ingin memilikinya. Hingga momentumnya aku berkesempatan bertatapan wajah dengan Susi. Ia memberi senyuman nan terindah, bak rembulan. Yang sebelumnya menakutkan, kini semua itu telah sirna, terhempas oleh senyuman tadi. Ingin kumengajaknya berbincang walau sekejap, tapi hati belum siap.

Suatu hari dari lantai dua sekolah. Diam-diam aku memperhatikan Susi yang sedang berada di bawah, bercipika-cikipi bersama para komplotannya. Mereka terlihat asik sambil tertawa. Lalu aku terbawa manisnya hayalan.

“Terimakasih bunga tulipnya. Aku senang bunganya begitu imut, serupa dirimu”.

“Ah, kamu bisa aja, Si. Mana ada bunga imut, yang ada bungannya anggun seperti kamu”.

“Ah, kamu gombal”.

“Kamu ugak gombal”.

Cerita hayalan berakhir setelah suara loncengan berbunyi. Segeralah aku turun dari anak tangga. Namun betapa malangnya diriku. Aku yang sedang tergesa-gesa, terpeleset. Padahal tinggal empat anak tangga lagi. Aku terbontang-banting dan merasa kesakitan. Dalam sekejap aku menjadi bahan tertawaan.

***

Esok paginya.  Aku datang ke sekolah lebih awal. Suasana teramat sunyi. Aku menyempati waktu berkeliling keperangan sekolah berkawan udara segar. Lalu blusukan ke kelas Susi, kosong tiada penghuni.

Satu demi persatu para murid berdatangan. Oh, Susi. Sosok perempuan yang membuatku senewen. Kumelihatnya sedang memakirkan motor. Maka segera kunaik ke lantai atas, menghindari kontak empat mata. Pasalnya panas dingin tubuhku.

***

Setiba di rumah usai dari sekolah, aku merenungkan diri. Aku paham bahwa perasaan cinta tidak boleh dipendamkan berlama-lama, betapa menyiksa dirasa dan meremukkan jiwa. Akhirnya aku memberanikan diri mengutarakan perasaan ini lewat ketikan sms.

Aku: “Susi, maukah dirimu menerima cintaku ? Aku sudah lama jatuh hati kepadamu. Sungguh                   dirimu bagaikan bidadari yang selalu mengisi ruang dan waktuku. Kuharap engkau mau menjadi pacarku”.

Enam menit berselang hp-ku berdering. Namun rupanya bukan sms balasan dari Susi, melainkan sms promo dari operator. Aku butuh jawabannya segera. Setelah lama menanti, tepat pukul empat sore handphone-ku berdering lagi.

Susi: “Maaf ya, wan. Baru balas, soalnya aku ada kerjaan. Apa aku tidak salah baca ini ya ?”.

Aku: “Susi, kamu nggak salah baca kok. Kamu mau kan jadi pacarku ? Terima aku ya”.

Susi: “Wawan, maaf ya. Bukannya aku nggak mau nerima kamu. Ingat, kita ini masih kecil. Untuk apa kita pacaran ? lebih baik berkawan saja”.

Aku kecewa dan kemudian mengulang-ngulang kembali membaca. Aku tidak menyangka, cintaku bakal ditolak. Susi memilih berkawan ketimbang berpacaran. Aku memilih tidak membalas sms Susi. Dan pada akhirnya status jomblo masih setia melekat kepadaku. Bahwasanya jomblo adalah statusisasi yang mengalami kudeta hati, karena cintanya tidak terkonfirmasi.

 

 3

Kisah selanjutnya saat aku sudah berada di kelas 3. Wahai kawan, tahukah dirimu ? Aku jatuh hati terhadap Melati. Perasaan ini muncul begitu saja.

Di sekolah, dia murid terpandai. Sudah banyak prestasi ditorehkannya. Pun bahasa inggrisnya bagaikan air mengalir. Dia memang cantik, dan banyak anak cowok naksir kepadanya. Tapi dia tidak suka berpacaran.

Suatu hari ketika aku duduk di kursi beranda rumah, berkawan cemilan dan secangkir teh. Handphone-ku berdering menandakan satu pesan diterima. Rupanya sms dari Melati.

Melati: “Wan, maafkan aku ya. Selama ini mungkin aku pernah buat gimana gitu sama kamu”.

Aku: “Melati, justru aku yang harus minta maaf sama kamu. Sebab akulah yang nyakitin kamu dan mawar. Aku sadar kok, kenakalanku keterlaluan banget. Jadi, aku minta maaf ya”.

Melati: “Kalau begitu, kita sama-sama saling memaafkan ya. Oya, ngomong-ngomong aku ada follow akun twitter-mu, follback ya”.

Aku: “Baik, semoga tidak terulang lagi ya. Ooo, dari mana kamu tahu aku pakai twitter ? Sip, gampang itu”.

Melati: “Aku nggak sengaja nemuin akun kamu makanya, di follow”.

***

Kawan, aku ingin membawamu sejenak ke belakang. Tepatnya di penghujung kelas 1, entah iblis mana yang merasukiku untuk memfitnah Mawar dan Melati. Dan yang paling konyol dengan beraninya aku meng-uploud foto sketsa Melati ke akun facebook milikku dan menyebutnya sebagai pacarku.

Aku nekat, karena kebetulan tak berkawan dengan melati di facebook. Kawan kalau boleh jujur, memata-matai akunnya sudah seperti makananku. Apalagi menyeludupkan fotonya. Suatu tindakan yang tak tahu adat. Kawan kumohon jangan ditiru.

Pada akhirnya Melati menyadari, betapa berangnya dia.

Saat dipenghujung kelas 1 hingga kelas 2 lalu. Kuakui sifat awalku yang semulanya kalem dan lemah lembut, sekonyong-konyong bagaikan iblis. Suka cari masalah. Walau kini Aku sudah kembali berubah, terkadang ada rasa penyesalan mengetuk.

***

Memasuki penghujung SMP, ada beberapa hal yang ingin kuceritakan kepadamu. Seperti panas dingin tubuhku saat melewati kelas Melati, yang kebetulan kelasku dengannya bersebelahan. Sungguh aku jatuh cinta kepadanya, namun cukup dipendamkan. Ingin sesekali mengajaknya mengobrol tapi hati selalu gugup.

Seiring berjalannya waktu, aku mencoba berbenah dan hasilnya memuaskan. Pas itu, aku sedang berjalan menuju kantin. Melati terlihat sedang berdiri di mulut pintu kelas, menutupi bibir dengan kedua telapak tangannya. Lalu kutekatkan diri berbicara dengannya. Tubuhku panas dingin.

“Melati, jadi kamu tidak percaya kalau aku ngefans sama Super Junior ?”. tanyaku. Dia hanya terdiam, sembari tersenyum malu.

“Kenapa kamu senyam-senyum ?”.

“Iya, aku percaya”. Katanya dengan nada kecil. Sekonyong-konyong ia mundur secara perlahan, dengan ekspresi wajah tersipu malu. Kemudian membalikkan posisi tubuhnya dan menuju ke kursi kelas.

Sungguh itu adalah hal nan terindah yang pernah kurasakan. Sekarang yang menjadi pertanyaan mengapa tiba-tiba Super Junior alias Boy Band asal Korea Selatan menjadi percakapan tersebut ? Baiklah. Semua ini berawal dari status twitter ku yang berbunyi “Akhirnya selesai juga men-download lagu super junior”. Beberapa menit berselang mendapat tanggapan dari Melati.

Melati: “Wawan, kamu tahu super junior ? sejak kapan nge-fans ?”.

Aku: “Lumayan lama. Kalau tidak percaya, bisa deh aku jelasin dihadapanmu langsung”.

Melati: “Oh, iyakah ?”.

Super Junior lah yang menjadi biang utama mengapa aku menekatkan diri untuk berbicara dengannya. Aku ingin membuktikan, kalau tidak kesannya malah mengelabui.

Itulah hari bersejarah untukku dan dialah Melati, perempuan yang mengintip-intip  dan tersenyum indah merona di jendela kelas sewaktu masih kelas 1. Ia telah mengambil keputusan melanjutkan SMA di Banda Aceh. Aku sulit menerima. Namun apalah daya, aku harus merelakan. Toh ini adalah keputusannya.

Ada satu hal hingga sekarang masih membekas diingatanku, yaitu isi sms darinya. “Wawan, aku pamitan dulu ya. Semoga kita bisa bertemu lagi”. Seketika itu pula air mataku mengalir. Aku berharap semoga esok lusa bisa berjumpa lagi dengannya.

Tahun 2011 aku tamat SMP di Samalanga.

 

4

Saat sudah berada di bangku SMA, tidak ada lagi nama Melati yang tertambat di hatiku. Enyah begitu saja, dan aku mulai fokus memantapkan diri. Belajar dengan paten. Di bangku kelas 1  dan 2 SMA tak ada hal menarik untuk diceritakan, sebab waktu itu aku sedang vakum di dunia percintaan.

Baiklah, sebut saja namanya Nela. Dia kelas 1 dan merupakan sosok yang murah senyum, hampir di sepanjang waktu ia tersenyum nan berseri-seri. Kemudian aku bekerja keras untuk mendapatkan nomor hp-nya. Tiga hari berselang berbuah hasil, senang nian hatiku.

Di rumah, usai pulang sekolah. Aku mengirimnya sms. Betapa jantungku terasa berdetak-detak lebih kencang, ingin rasanya memiliki dia. Namun malangnya, rupanya dia telah memiliki pacar. Dan pacarnya itu adalah temanku sendiri.

Sedih nian hatiku, padahal ingin kumerasakan bagaimana suburnya memanen cinta. Hingga pada akhirnya aku terbawa suasana tidak enak, tidak nafsu makan. Seiring berjalannya waktu aku melupakan Nela. Untuk apa aku mencintai orang yang sudah punya pacar ? Apa lagi berusaha untuk merebutnya. Aku takut terjerat Hak Asasi Berpacaran.

***

Waktu kian lihai berganti, kumis beserta jenggotku makin menjadi. Lantas panggilan Pak Tua Wawan melekat di telingaku. Namun terkadang aku merasa geli dipanggil seperti itu, kesannya seperti sudah berkeluarga dan punya anak tiga atau empat. Bahkan salah satu guru menyuruhku untuk mencukur kedua mahkotaku itu.

***

Bulan november tahun 2013. Ketika itu aku sedang buka facebook. Aku menambah pertemanan ke salah seorang siswi SMA yang satu sekolah denganku. Namanya Dian, dia itu pencinta musik India. Setahuku dia menyukai lagu Teri Meri. Akhirnya tak lama berselang aku mendapatkan konfirmasi. Ia pun mengirim pesan.

Dian: “Salam kenal, ini wawan anak kelas 3 IPS 3 kan ?”.

Aku: “Iya,benar. Ini dian anak 3 IPA 1 ya ?”.

Dian: “Iya hehehe, lagi ngapain ini ?”.

Aku: “Kan lagi ngechat sama dian, kok nanya sih ?”.

Dian: “O iya, benar juga ya hhh. O iya, ini dian ada pisang goreng nih, mau ?”.

Aku: “Boleh, tapi makannya gimana ? rumah dian aja wawan nggak tahu”.

Dian: Gampang kok, dibayangkan saja hehehe”.

Aku: “Kampret nih, anak”.

Dian: “Marah ya ? maaf. Cuma bercanda kok”.

Aku: “Iya, tahu”.

Pada akhirnya  aku merasa ada sesuatu hal nan berbeda. Aku merasa nyaman begitu saja dengan Dian. Dia pun mulai bertanya-tanya tentang diriku. Dia pun juga banyak memberikan rasa perhatian. Sudah makan ? lagi apa ? ini lah yang membuatku tumbuh rasa cinta kepadanya.  Hingga yang membuatku kaget ketika ia bertanya tentang statusku.

Dian: “Wawan jomblo atau lagi pacaran ?”.

Aku: “Jomblo. Kenapa bertanya ?”.

Dian: “Emang nggak boleh ya nanya ? tapi ada cewek yang wawan lagi suka kan ?”.

Aku: “Iya, dia anak di kawasan SMA kita juga”.

Dian: “Siapa namanya dan kelas berapa ?”.

Aku: “Kalau soal namanya sih cukup wawan aja yang tahu. Intinya dia anak kelas 3 IPA”.

Dian: “Aduh, siapa sih ? sebut sajalah, barangkali dian bisa bantu”.

Aku: “Nggak ah, lain kali aja. Oya, dian sendiri sudah punya pacar ?”.

Dian: “Baiklah, dian sekarang lagi jomblo”.

Aku: “Emang sebelumnya sudah pernah pacaran ?”.

Dian: “Udah, baru dua kali. Kalau wawan ?”.

Aku: “Belum pernah sekalipun”.

Dian: “Masak cowok seganteng wawan belum pernah pacaran ?”.

Aku: “Terserah sama dian saja, mau percaya atau tidak”.

Dian: “Iya deh, dian percaya”.

Aku: “Ngomong-ngomong, dian kan lagi jomblo. Lagi suka sama seseorang nggak ?”.

Kawan, tak kupungkiri awal-awal PDKT-an itu, suasananya bikin keringat dingin. Ingin kukatakan yang sebenarnya bahwa ia adalah cewek yang kumaksud.

Dian: “Ada, anak 3 IPS”.

Aku: “Siapa namanya ? wawan penasaran nih”.

Dian: “Bilang dululah, siapa cewek yang wawan lagi suka sekarang”.

Aku gugup begitu mendalam. Segan berterus terang, hati tertekan di setiap saat. Jantungku kian berdebar-debar.

Aku: Wawan janji kok dalam beberapa dekat ini, dikasih tahu”.

Dian: Benaran ya, dian tunggu”.

***

Setelah itu tidak ada lagi percakapan. Beberapa hari kemudian aku mulai sadar, tidak boleh menyembunyikan perasaan berlama-lama. Maka aku mengirimnya pesan di facebook.

Aku: “Wawan minta maaf ya, karena selama ini sudah bikin penasaran dian. Jadi yang selama ini wawan maksud adalah dian”.

Dian: “Terimakasih tuhan, engkau telah menyamakan hati kami”.

Aku: “Dian, mengapa bisa suka sama wawan ?”.

Dian: “Susah dijelasin lewat sini. Hari senin saja ya kita bertatap muka”.

Aku: “Baiklah”.

Kini semua sudah terjawab, masing-masing dapat diketahui. Tentunya, aku merasakan amat bahagia sekali. Bukan hanya bahagia, pun juga kegugupan . Aku mulai berlajar merangkai kalimat-kalimat, supaya nanti tidak salah. Semua kukerahkan sepenuh hati dan cinta. Hingga yang dinanti-nantikan pun tiba. Usai melaksanakan upacara bendera. Di bawah pepohonan nan rindang menjadi saksi bisu bersatunya cinta kami.

Aku duduk di kursi beton panjang menunggunya sesuai janji yang sudah ditentukan. Beberapa menit kemudian aku terdiam bagaikan tiang bendera, terpesona akan kecantikan bidadari india itu.

“Silakan duduk”. Kataku

“Dian mau menjadi bagian dari hidup wawan ?”.

“Iya. Dian sudah jauh hari bersedia kala dan sekarang adalah momentumnya menyantukan cinta kita”.

“Wawan tak menyangka bisa memilikimu. Padahal kita baru kenalan di facebook. Sebelumnya kita tidak pernah bertegur sapa. Tapi inilah cinta”.

“Sulit dipercayai. Tapi jangan dipikirkan lagi, sekarang kita sudah menjalanin hubungan. Tentu akan banyak berbagai cobaan untuk mengukur seberapa besar cinta kita”.

“Dian tidak ingin kehilangan wawan. Dian akan menjadikan wawan sebagai cinta terakhir”.

“Dan percayalah, wawan tidak akan mengkhianati cinta ini, karena yang ada dalam pikiran wawan hanya dian. Dian akan menjadi cinta pertama dan cinta terakhirku”.

“Cinta kamu”.

“Cinta kamu juga”.

Sejarah hadir, cinta pertama itu indah, karena cinta pertama yang membuat hati kita spesial. Merasakan cinta pertama akan selalu berbeda dengan cinta berikutnya dan berikutnya. Akhirnya, kami menuju ke kelas masing-masing.

Setibanya di kelas, teman-teman mengucapkan selamat. Rupanya mereka kompak-kompakkan mengintip di jendela.

“Cie, yang sudah janjian, bahagia ya”.

Kawan tahukah dirimu ? rupanya hubungan kami menjadi tranding topic di sekolah. Kami bagaikan pasangan artis. Maklumlah cowok ganteng jadi pemberitaan di mana-mana. Sewaktu pulang sekolah, aku menunggu dian di depan kelasnya untuk mengajak pulang bersama. Akan tetapi tidak kesampaian, dia pulang bersama temannya.

Sampai ke rumah smsan, saling bertukaran pikiran intinya serasi deh di awal-awal menjalin hubungan berpacaran, semuanya ingin melengkapi, ingin mengetahui keadaan masing-masing meskipun di sekolah udah ketemuan.

Esok harinya pas pulang sekolah, akhirnya aku berkesempatan mengantarin Dian ke rumah. Kami tidak luput dari serbuan mata para siswa dan siswi. Apa lagi aku sadar, ada beberapa adik leting yang suka sama aku. Mereka terlihat cemburu melihat kemesraanku dengan ekspresi wajah tidak seperti biasanya. Di sepanjang perjalanan kami saling mengobrol, dihiasi canda dan tawa, saling bertanya bagaimana pelajaran di kelas. Akhirnya sampai juga ke rumahnya dan aku mengucapkan selamat tinggal.

Seiring berjalannya waktu kami selaku pasangan yang menjalin hubunngan non sakral tersebut. Banyak melewati hari-hari indah, seperti saat aku dibawakan nasi goreng ala Dian di sekolah, jalan-jalan ke pantai, aduh mesra sekali.

Januari tahun 2014. Dian terlihat tidak seperti biasanya, kebanyakan cuek, kalau ditawarin pulang barengan selalu menolak. Padahal aku tidak pernah bermain dibelakangnya. Aku cinta dan sayang dia. Kalau ditelpon tidak diangkat, sms tidak dibalas membuatku sedih dan kecewa. Apakah ini bertanda Dian ingin berpaling dariku ? apakah ia sudah lupa dengan janji-janji manisnya ? apakah aku selama ini begitu kurang ? dan pada akhirnya terjawab sudah seketika aku menerima sms darinya isinya seperti ini.

“Maafkan dian karena selama ini sudah berubah. Jujur dian tidak ada perasaan lagi dengan wawan. Sekarang terserah sama wawan saja. Dian mau sendiri dulu”.

Sontak aku merasakan sayu amat mendalam. Air mata mengalir membasahi pipi dan membuat tidurku tidak nyenyak sepanjang malam. Rekaman hari-hari indah bersamanya tersajikan kedalam ingatakan, namun semuanya terasa sakit dirasakan. Kini hubunganku dengannya telah karam di samudera hindia.

Aku berusaha ingin mengeyahkannya dalam pikiranku, akan tetapi tidak bisa. Seminggu kemudian aku bisa merelakan keputusannya.

 

Pesan Moral:

Merasakan cinta pertama merupakan sejarah bagiku. Akan tetapi, akan lebih mulia apabila kedua insan menempatkan cinta di wadah sebenarnya, yakni jalur pernikahan. Bahwasanya cinta itu diuji ketika dua insan tulus dalam sebuah pernikahan. Inilah cermin arti sebuah hakikat penempatan cinta dan aku baru menyadarinya. Cukup berpacaran hanya sekali dalam hidupku.

Pacaran bukan solusi terbaik menempatkan cinta. Justru hanya semakin mendekatkan diri terhadap dosa-dosa, karena berpacaran tidak ada hak dan kewajiban. Bahkan tak diakui negara. Cinta yang suci adalah cinta yang dibangun di jalan Allah, yaitu lewat pernikahan.

Nasihatku, khusus untuk perempuan muslimah, jika seorang lelaki datang melamarmu. Terimalah apabila ia telah memenuhi syarat-syarat. Kelak membina rumah tangga akan bertulis sakinah, mawaddah, warahmah. Dan khusus laki-laki carilah perempuan yang memiliki sifat ke ibuan (bisa memasak, bisa menyetrika, bisa mencuci, senang terhadap anak-anak, penyayang dan yang baik agamanya). Karena sekarang kita sedang dilanda oleh fenomena di mana para perempuan terutama di kota-kota besar hanya asik berhura-hura, pergaulan begitu bebas, banyak duduk di café-café dan lain sebagainya. Coba kalau sudah berumah tangga. Semuanya diserahkan kepada pembantu, apalagi kalau sudah punya anak diserehkan kepada baby sitter. Mungkin kalau disuruh nyuapin anak tidak tau caranya. Bandingkan dengan perempuan-perempuan masa lalu mereka sudah diajarin bagaimana cara memasak, mencuci, menyapu oleh ibunya. Ini tak luput dari sebuah kesadaran. Ialah kesadaran sebagai bekal kelak untuk calon ibu rumah tangga.

Insya Allah, saudara-saudari se-iman. Apabila kita menempatkan cinta dalam sebuah pernikahan cinta tersebut tidak hanya memberikan kebahagiaan di dunia, tetapi juga di akhirat. Semoga kita bisa mendapatkan pasangan yang berkarakter syariat. Amin.

 

Kumenanti

Oleh:

Wahyu Setiawan

 

Hujan di malam pergantian tahun

Sesungguhnya engkau yang kutunggu di balik jendela kaca ini

Kumenanti berteman secangkir kopi hitam

Aroma nikmat memanjakan indra pengecap

Hadirmu ialah senandung indah

Yang berdenting-denting di atap

Aku terhanyut

Sorot mataku syahdu menatapmu

Engkau meluapkan sekuat jiwa dan raga

Namun kehadiranmu ialah duka bagi mereka

Betapa tidak ?

Malam yang seharusnya bertabur meriah

Menjadi malam nelangsa

Semua tampak lengang

Kecuali senandungmu yang berkuasa

Reputasi Om Jono

Oleh: 

Wahyu Setiawan

 

Namaku Baduludin. Usia sebelas tahun. Kawan bolehlah memanggil Badul atau Udin.

Sekarang aku sudah tinggal bersama Om Jono dan Tante Aminah. Kami menetap di kampung nan terpencil jauh dari gemerlap ibu kota provinsi.

Ayah dan Ibu memberi mandat kepada Om Jono untuk merawatku. Sebab keluarga kami dilanda ekonomi sulit. Ayah sudah menjadi pedagang kerupuk keliling semenjak ia kena PHK dari pabrik tempat dirinya bernaung. Sedangkan ibu pensiunan muda tukang jaga toko eletronik. Ia terpaksa pensiun lebih awal karena kondisi kesehatannya yang menurun. Kini ibu lebih banyak menghabiskan waktunya berkawan dengan tempat tidur. Sedih nian hatiku melihat kondisi bidadari berjiwa lembut itu.

“Bibi, jaga ibu ya”. Pintaku kepada bibi dengan raut wajah bersedih.

“Dul, tak usahlah khawatir. Bibi akan selalu menjaga ibumu”. Demikian jawaban bibi.

Om Jono tiada henti berkaca-kaca matanya. Harapan untuk mendidik anak dibahtera rumah tangganya telah kunjung tiba.

“Jon, hapuskan air matamu. Didiklah Badul seakan-akan ia anak kandungmu”. Ucap Ayah sambil menepuk-nepuk bahu Om Jono saat melepaskan kami di terminal bus ibukota provinsi.

“Baik, Abangda. Terimakasih atas kepercayaanmu”.

***

Om Jono berprofesi sebagai tukang listrik. Ia mengaku penghasilannya belum cukup memenuhi kehidupan rumah tangganya. Apalagi aku sudah diasuh. Akhirnya setelah berlama-lama duduk merenung di pinggir sungai ia pun tersenyum simpul. Om Jono memutuskan merintis usaha sampingan kedai kopi.

Usaha mendirikan kedai kopi pun terwujud setelah ia menjual kambing-kambingnya. Bangunan kedai kopi itu terbangun sederhana di depan rumah Om Jono.

Di samping profesi Om Jono sebagai tukang listrik dan membuka usaha sampingan. Ia juga mengibarkan sayapnya di dunia persilatan ayam. Dari beberapa ekor ayam jago yang dimiliki, Om Jono lebih jatuh hati akan keseksian Piljen, nama ayam bangkoknya. Sehingga setiap kali ia pulang kerja, bukannya mengganti pakaian atau makan dulu. Ia malah tergopoh-gopoh ke kandang ayam. Tante Aminah berang.

***

Bila malam tiba kedai kopi Om Jono selalu dipadati para pemuda kampung. Sama halnya seperti Om Jono, mereka itu para pemuda yang berkecimpung di dunia persilatan ayam dengan segudang pengalaman tapi minim prestasi.

Meraka tiada hentinya berbusa-busa perihal ayam jago. Mulai dari kiat-kiat merawat ayam agar terhindar dari penyakit, cara praktis membentuk otot paha ayam, melatih kekuatan otot leher ayam, melatih pernafasan ayam dan entah apa lagi kiat-kiat itu. Aku sama sekali tak mengerti. Bibirku terkunci, membantu Tante Aminah mengantarkan kopi ke meja mereka.

Salah satu pemuda kampung, Marcin namanya. Nan lincah ia menjelaskan kronologis atas kemenangan ayam jagonya sembari menggerak-gerikkan kedua tangannya dengan menggunakan dua gelas plastik. Gelas itu saling dibaku hantamkan seolah-olah pertikaian ayam jago.

Beberapa selang kemudian Om Jono ikut meramaikan diskusi itu. Para pemuda kampung tahu bagaimana sepak terjang Om Jono yang memiliki beberapa ekor ayam jago terkuat dengan cakar mematikan. Mereka takjub dibuatnya.

Jika bertarung di arena, ayam jago Om Jono dapat secara mudah mengalahkan lawannya. Hal itu dikarenakan ia mempunyai buku paduan lengkap kiat-kiat melatih ayam jago yang didapatkannya dari seorang kawan di ibukota kabupaten.

“Tidak bisa, sekalipun kau menyogokku”. Kata Om Jono sambil tertawa tipis. Ketika salah satu pemuda kampung merayunya untuk membuka rahasia melatih ayam jago. Pemuda kampung itu langsung mati sekak dibuatnya.

“Bang Jon, aku ingin menantangmu!”. Seru Marcin dengan mantap.

“Tidak kah kauhitung sudah berapa kali ayammu pingsan melawan ayamku ?”. Ucap Om Jono dengan nada sedikit menyombong.

“Aih, tak patutlah meremehkanku. Asal Bang Jono tahu, Akimut sudah semakin kuat. Ayo bertarung kita hingga titik darah penghabisan!”.

“Kau belum mengerti berhadapan dengan siapa kau sekarang. Tapi baiklah, kuterima tantanganmu. Agar di kemudian hari engkau benar-benar mengerti dan siap-siap kembali gigit jari. Tentukan waktu dan lokasi!”.

Marcin mendekat ke bangku Om Jono dan kemudian membisik pelan.

“Selasa minggu depan, pukul empat sore, di hutan. Deal ?”.

“Deal”. Kedua belah pihak berjabat tangan. Senyum tengik Marcin mengambang.

***

Esok harinya Om Jono menyuruhku ke tambak untuk memata-matai Marcin. Konon katanya, Marcin amat gemar melatih Akimut di tambak. Dan benar saja, dilatihnya ayam itu macam sedang dirasuki iblis. Berulangkali Marcin menceburkan Akimut ke tambak. Ayam itu berenang gusar dengan nafas tersengal-sengal setiba di tepi. Konon juga, teori latihan yang diciptakan Marcin akan membuat pergerakan kaki ayam jadi lincah. Namun di balik itu semua, tanpa disadari, lelaki yang telat pandai naik sepeda itu hampir saja membuat nyawa ayamnya copot.

Adapun metode latihan yang diterapkan Om Jono teramat bijaksana. Si Piljen diberi asupan nutrisi dengan resep rahasia dan latihan ringan. Dipasangkan barbel ayam di kedua kaki Piljen, sehingga ayam itu kalau berjalan macam robot tersendat-sendat.

Setelah berhari-hari melatih ayam jago, waktu yang telah di tentukan tiba. Aku juga diajak Om Jono menyaksikan persilatan ayam jago. Hanya ada kami bertiga di hutan. Marcin dibayang-bayangi rekor buruk menghadapi Om Jono. Dua belas kali bertanding, belum sekalipun dirinya menang. Om Jono selalu berada di atas angin.

Maka peluit babak pertama berbunyi. Belum apa-apa ayam jago Marcin sudah mendominasi pertarungan. Akimut memberi perlawanan terbaik. Ayam Om Jono tersengal-sengal tak keruan. Berulangkali  Piljen mencoba menyerang lawannya, tetapi ayam itu memiliki pertahanan terbaik. Marcin sang pelatih sekaligus sang majikan tiada hentinya bersorak-sorak ria. Babak pertama usai.

Om Jono tak habis pikir. Berulangkali ia menepuk-nepuk pipi kanan-kirinya. Ia tak percaya dominasi ayam Marcin yang menyerang bak pukulan pegasus.

Di dekat Om Jono aku hanya terdiam. Namun sebenarnya di dalam hati jiwaku memberontak. Kasihan aku melihat ayam-ayam itu. Sungguh mereka berdua telah melanggar hak asasi binatang.

Babak kedua pun dimulai. Kedua ayam mengambil acang-acang dan kembali bertarung. Namun lagi-lagi ayam jago Marcin bak banteng mengamuk. Berulangkali ayam itu mematuk kepala Piljen. Marcin terkekeh. Piljen mencoba bangkit, tetapi sia-sia. Ia sempoyongan dan tersungkur syahdu ke tanah. Pertandingan usai. Rekor Om Jono putus.

***

Ke esokkan harinya berita kekalahan Om Jono tersebar luas dan menjadi perbincangan hangat dikalangan para tokoh elit pemuda. Rupanya diam-diam ada salah satu pemuda yang menyaksikan persilatan ayam jago kemarin. Kini reputasi Om Jono bak awan mendung. Akhirnya ia bisa juga dikalahkan. Adapun Marcin tetap merendah. Baginya kemenangan itu hanya kebetulan.

Om Jono tak mau berlama-lama terlarut dalam kekecewaan. Ia akan berusaha sekuat jiwa raga memperbaiki kembali reputasi namanya.

***

Minggu pagi itu, Tante Aminah mogok menjaga kedai kopi. Rupanya ia semakin berang. Titik kemarahannya pun meletup hingga sulit mengontrolkan diri. Dibantingnya vas bunga dan pecah. Sebab perkaranya klasik, seluruh kasih cinta Om Jono hanya sepenuhnya diberikan kepada Piljen yang dianggap lebih seksi.

Di dapur, betapa terkejutnya diriku saat mendengar suara itu. Aku sudah terbiasa mendengar letupan Tante Aminah, tetapi mendengar suara dentuman vas bunga adalah peristiwa pertama.

Tante Aminah lalu beranjak mengurungi diri di kamar, dikuncinya pintu. Om Jono hanya bisa terdiam mendengar ceramah keluh kesah memuncak istrinya. Segera Om Jono membersihkan pecahan vas bunga yang berserakan di lantai. Lalu termangu sendu terduduk di sofa. Kini ia telah menyadari dosa terbesarnya sebagai suami.

Beberapa saat kemudian, Om Jono mengetuk-ngetuk pintu kamar dengan harapan istrinya bersedia memaafkan dirinya. Tetapi bukannya permintaan maaf yang diberikan, Om Jono malah kena hadiah semprot lagi.

“Diam. Pergi sana!”. Hardik Tante Aminah.

“Berikan aku kesempatan”.

“Pergi !!!”. Suara Tante Aminah naik enam tingkat.

“Baiklah jika itu yang engkau minta”. Om Jono beranjak keluar dengan raut wajah penuh penyesalan. Dihidupkan mesin motornya, lalu berseluncur. Pada akhirnya ia tak pulang-pulang selama  lima hari. Tak tahu entah kemana. Tentu saja selama itu, Tante Aminah sempat dilanda rasa sepi, rindu, kawatir, dan bersalah.

Ada pun ketika Om Jono sudah menampakkan kembali batang hidungnya. Ia menjual semua ayam-ayam jagonya. Hal itu sekaligus membuatnya resmi pensiun dari dunia persilatan ayam. Tante Aminah riang. Pemuda-pemuda kampung menyayangkan.

Dan seiring waktu bergulir, aku mendapat kabar bahwa kondisi ibu sudah membaik setelah mendapat bantuan dari pemerintah.